Rabu, 01 Februari 2012


Awak KRI Dewaruci saat Masuki Hari Pesiar
Malam tanpa Lampu, tapi Setel Lebih Kencang
 Padang Ekspres • Senin, 23/01/2012 13:02 WIB • Suryo Eko P—KRI DEWARUCI • 294 klik
HARI PESIAR: Kadiv Eka KRI Dewaruci Lettu Laut (E) Risman (kiri), Perwira Pelaks
Setiap Sabtu dan Minggu di jajaran TNI-AL merupakan hari  pesiar (hari tenang). Bagi sebagian besar kru KRI Dewaruci yang sedang menjalani muhibah keliling dunia hampir sepuluh bulan, hari yang biasanya tenang untuk istirahat ketika di darat tidak berlaku.

JAM dinding di anjungan KRI Dewaruci terlihat menunjukkan pukul 07.00 WIT. Jika pada Senin–Jumat selalu dilaksanakan apel pagi sejak Dewaruci bertolak dari Dermaga Ujung, Surabaya, minggu lalu, akhir pekan kemarin (21/1) apel tidak dilakukan. Apel siang yang biasa dilakukan selama lima hari kerja pada pukul 15.15 tidak berlaku pada hari pesiar tersebut.

Kendati hari relatif santai, seluruh kru tetap melaksanakan tugasnya sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Dinas Dalam (PPD) Khas TNI-AL secara khidmat. Beban kerja selama Sabtu-Minggu di empat departemen satuan kapal bantu Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) itu bisa dibilang tidak mengendur.

Misalnya, departemen mesin yang diawaki Mayor Laut (T) Fahri Syah Putra dan departemen logistik yang dipung gawai Lettu Laut (S) Kustanto. Kapal dituntut tetap melaju sesuai dengan kemampuan agar target tiba di persinggahan pertama di Jayapura pada Rabu (25/1) tetap tepat waktu.
Kebutuhan makan tiga kali sehari 80-an penumpang yang terdiri atas para perwira, bintara, dan tamtama, serta pendukung wajib dipenuhi. Jajaran yang terlihat lebih setel kencang dari dua departemen yang mengurusi bagian jeroan tersebut saat hari pesiar adalah departemen navigasi dan operasi serta departemen bahari.

Dalam perjalanan hari ketujuh Dewaruci dari Laut Seram menuju Selat Salamati kemarin, kapal latih itu masih diguncang ombak yang kurang bersahabat. ”Biasanya mendekati Samudra Pasifik memang karakter ombak tidak bisa tenang,” ungkap Kepala Departemen Navigasi dan Operasi KRI Dewaruci Kapten Laut (P) Suroto.
Kondisi kapal yang terobang-ambing lantaran arus air laut mendekati samudra cenderung tidak ada penghalang. Menjelang laut lepas, ombak bisa lebih tinggi ketimbang perairan yang berada di antara kepulauan. Apalagi, ombak di samudra yang jauh dari daratan. Suroto yang mengomando divisi navigasi, divisi elektronik, dan divisi komunikasi mengatakan harus tetap siaga meski pada hari pesiar.

Seperti hari-hari biasanya, jam jaga laut mereka selama sehari di atas kapal delapan jam dibagi dua termin. Yakni, empat jam pada pagi (08.00–12.00) dan empat jam pada malam (20.00–24.00). Begitu juga halnya dengan sif siang (12.00–16.00) dan dinas jaga larut malam (24.00–04.00). Ada juga yang kebagian sif petang hari (16.00–20.00) plus dini hari (04.00–08.00).

Tantangan terberat di departemennya, menurut entara dari Sukoharjo itu, ketika berlayar mulai pertengahan waktu petang pukul 18.00 hingga pagi pukul 06.00. Pada jam pelayaran itu, kapal berjalan di tengah kegelapan. Penggunaan lampu sorot seperti untuk mobil jalan di darat saat hari mulai gelap, berdasar aturan pelayaran internasional dan peraturan pencegahan tabrak laut (PPTL), tidak diperkenankan.

Satu-satunya petunjuk penerangan eksistensi kapal berasal dari lampu navigasi yang pancarannya tidak terlalu terang. Berbagai cara memandu kapal dilakukan, antara lain, melalui peranti radar dan pengawas dari divisi bahari (departemen bahari).

Pengawas jaga laut tersebut menjadi kepanjangan mata secara visual tentang apa saja yang ada di jalur kapal berlayar. ”Selain manual melalui petugas yang menjaga di haluan kapal (dekat cocor), harus ada serangkaian back-up. Sebab, kemampuan pengawas sebagai manusia sangat terbatas,” lanjut perwira yang genap berusia 36 tahun pada 12 Desember 2011 itu.

Lettu Laut (P) Bahari Sugeng Haryanto menam bahkan, pelayaran di alur padat pada hari pesiar justru membutuhkan kesiagaan ekstra. Sebab, pada akhir pekan itu, jumlah kapal yang berlayar semakin banyak. Selain menghindari jalur dangkal untuk menghindari kapal kandas, petugas jaga harus awas agar kapal tidak saling bertabrakan.
”Walaupun lautan terhampar begitu luas, mengapa insiden kapal bertabrakan di laut masih saja ada, itu terjadi karena kurang awasnya petugas,” tutur arek Suroboyo yang membawahkan divisi bahari, layar, senjata bawah air, dan senjata atas air itu.

Dalam kondisi cuaca buruk seperti hujan deras yang mengguyur Dewaruci sepanjang siang kemarin, visualisasi pengawas laut sempat terganggu. Selain dibekali uniform antiair, personel dari korps pelaut divisi bahari itu harus memiliki stamina prima.
Tempat mereka bekerja di haluan membuat para juru bahari tersebut selalu diterpa angin. Jika ombak sedang ganas, mereka ibarat bumper yang terkena dampak langsung dari gulungan ombak.
”Pesiar di sini ya tetap jaga laut. Kalau sudah sandar, baru bisa pesiar yang sebenarnya,” timpal Juru LayarSerda Bah Umar Sabat. Meski bertugas mengawasi operasional tiang tengah Dewaruci, tentara dari Kupang yang bergabung di kapal layar latih sejak 1997 itu selalu menikmati bagian haluan.

Di tempat jaga dekat patung Dewaruci atau tokoh pewayangan Bima yang ditempatkan di bawah cocor, Umar mengaku matanya lebih terbuka terhadap ciptaan Tuhan. ”Saya lebih banyak bersyukur dan menyadari bahwa kita (manusia, Red) itu sangatlah kecil saat di tengah luasnya lautan,” ujar penghobi burung kicau yang sebelumnya bertugas di KRI Ki Hajar Dewantara itu. (*/c4/Lk)
[ Red/Redaksi_ILS ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar