Setelah
menempuh pelayaran panjang, dari Boston ke Kanada, dilanjutkan ke
Portugal, akhirnya KRI Dewaruci merapat di Pelabuhan Porto, 26 Juli
lalu. Wartawan JPNN SURYO EKO PRASETYO yang mengikuti ekspedisi
Dewaruci keliling dunia itu pun melaporkan kembali perjalanan selama 17
hari di tengah Laut Atlantik tersebut.
BERLAYAR di
atas kapal yang lingkungannya terbatas bisa mengakibatkan stres.
Apalagi dalam waktu berbulan-bulan seperti di ekspedisi KRI Dewaruci
ini. Dimensi panjang dan lebar geladak KRI Dewaruci yang tidak lebih
dari 49,6 meter x 9,5 meter terkesan sempit dan yang terlihat itu-itu
saja.
Tidak bisa dimungkiri bahwa
rasa kangen terhadap keluarga di tanah air sering muncul. Bila tidak
bisa melawan stres, bisa-bisa sumbu emosi gampang tersulut. Potensi
gesekan antarawak kapal pun menjadi terbuka.
Saya yang pernah ikut
pelayaran Dewaruci rute Surabaya–Jayapura berusaha menyelami situasi
psikologis para ABK (anak buah kapal). Jangan sampai kehadiran saya
ibarat bensin yang dapat menyulut bara menjadi api. Karena itu,
seluruh prosedur saya penuhi sejak sebelum berangkat. Di antaranya,
dokumen perjalanan seperti paspor dan visa, tiket pesawat, buku kuning
berisi sertifikat vaksinasi internasional yang lazim berlaku di
kalangan pelaut, surat tugas dari kantor, dan security clearance (SC) dari TNI-AL.
Persyaratan administrasi
tersebut saya urus sejak pulang dari Jayapura, Februari 2012. Kebetulan,
paspor sudah saya perpanjang sebelum mendapat penugasan ke luar
negeri, Desember 2011. Di antara rencana 11 negara yang akan disinggahi
Dewaruci, saya hanya membutuhkan tujuh visa. Yakni, visa AS, Kanada,
Portugal (juga berlaku visa Schengen di Spanyol dan Malta), Mesir,
Arab Saudi, Oman, dan Sri Lanka.
Buku kuning saya urus di
Kantor Kesehatan Pelabuhan Tanjung Perak dan Bandara Juanda. Tanda
tangan dr Gangga Adam Erlangga dan dr Wahju Tj. membuktikan saya
pernah divaksin meningitis, typhoid, dan yellow fever.
Vaksin itu, menurut perwira
kesehatan di Dewaruci dr Bangun Pramujo, merupakan langkah preventif
terhadap penyakit maupun prosedur izin masuk ke suatu negara tertentu.
”Pelabuhan-pelabuhan di AS sangat ketat terhadap warga asing yang
belum disuntik yellow fever. Negara-negara Afrika dan Timur Tengah biasanya sangat perhatian terhadap antisipasi meningitis,” terang Bangun.
Saya yakin syarat-syarat
lain sudah saya penuhi dari Komando Armada RI Kawasan Timur (Armatim)
sebelum mengikuti pelayaran ke Jayapura.
Celakanya, SC untuk
pelayaran ke luar negeri ternyata tidak cukup dari Intelijen
Armatim. Harus ada SC dari Intelijen Mabes TNI-AL.
Namun, saat saya sudah
menginjakkan kaki di Boston, AS, masalah prosedur muncul. Yakni, soal SC
dari Mabes TNI-AL yang memang belum saya kantongi. Pasalnya, SC itu
diperlukan saat saya mengikuti pelayaran di sejumlah negara sebagai
prasyarat perizinan. Izin tersebut mestinya diurus sebelum berlayar ke
luar negeri.
Agenda waktu, dalam rangka
apa, kegiatan di negara tujuan, siapa saja kru atau personel yang
terlibat, dan kapan meninggalkan negara tersebut harus jelas di awal.
Prosedur standar itu ditindaklanjuti dengan instansi teknis di negara
tersebut.
”Jadi, selama belum ada SC
dari Aspam (Asisten Pengamanan KSAL, red), saya tidak menjamin Mas
Suryo bisa ikut ke Kanada,” ucap Komandan KRI Dewaruci Letkol Laut (P)
Haris Bima Bayuseto dua hari sebelum Dewaruci meninggalkan Boston.
Mendengar pernyataan Bima
tersebut, seluruh persendian tubuh saya rasanya tak bertulang lagi.
Tidak sampai tiga hari lagi Dewaruci akan berlayar ke Kanada. Tidak
mungkin saya harus mengurus lagi di tanah air. Karena itu, saya memohon
ada dekresi kebijakan dari komandan Dewaruci.
Selain itu, saya langsung
menelepon Kadispen Armatim Letkol Laut (KH) Yayan Sugiana. Kebetulan
yang bersangkutan sedang di Mabes TNI-AL. ”SC langsung ditangani
Letkol Laut (KH) Abdul Kadir (kepala Seksi Peliputan dan Pemberitaan Sub
Dinas Penerangan Umum Dispenal, red),” kata Yayan.
Saya mencoba menghubungi
perwira menengah yang baru promosi pada April 2012 itu. Suara di ujung
telepon tidak jelas dan cenderung putus-putus. Kemudian, saya ketik
pesan singkat kepadanya. Balasannya cukup melegakan hati meski belum ada
kepastian: ”SC masih di Spamal (staf pengamanan KSAL). Kami mencoba
menelusuri SC yang lama di Armatim sambil proses SC yang baru.
Surat kami konsep komandan kapal agar
dapat diterima. Titik terang akhirnya datang dari Atase Laut Republik
Indonesia di Washington DC Kolonel Laut (KH) Anwar Saadi. Pamen tiga
melati yang mengawal diplomasi pelayaran Dewaruci 2012 di AS—mulai
Kwajalein hingga Kepulauan Marshall—medio Februari tersebut menguatkan
saya. Selama di Benua Amerika (termasuk Kanada, Amerika Utara), itu
masih wilayah ”kekuasaan” dia. ”Yang penting punya visa Kanada tidak
masalah,” ujar Anwar meyakinkan saya. (bersambung)