Bangunan masjid yang merangkap dengan bangunan
tempat tinggal di Travessa do Loureiro, Porto menjadi pusat kegiatan
umat muslim di Porto. (Foto: F-SURYO EKO PRASETYO/JPNN)
Maka, saat KRI Dewaruci bersandar di Porto, kota terbesar kedua di Portugal, pekan lalu, nuansa Ramadan hampir tak kelihatan dalam kehidupan masyarakatnya.
Suasana Pelabuhan Porto de Leixoes, Senhor de Matosinhos, cukup ramai hari itu. Sebagai kota pelabuhan yang punya daya tarik wisata, Porto sibuk dengan aktivitas bongkar muat barang ekspor impor, pasar pelelangan ikan, pusat-pusat perbelanjaan, dan wisata pantai.
Tak heran bila di sekitar pelabuhan banyak warung makan di pinggir jalan untuk melayani para kuli pelabuhan. Juga lapak-lapak penjual ikan segar yang tersebar di mana-mana.
Dari pusat Kota Porto, diperlukan waktu satu jam untuk menuju pelabuhan yang bersih dan tertata itu. Kita bisa menggunakan alat transportasi masal kereta komuter Metro.
Tapi, kalau naik bus kota, lamanya bisa hanya sekitar 45 menit karena transitnya tidak sebanyak kalau naik komuter.
‘’Di kawasan Pelabuhan Porto hampir tidak bisa Anda temui nuansa Islami. Apalagi suasana Ramadan. Anda harus ke pusat kota kalau ingin bertemu komunitas warga muslim di Porto,’’ saran Atase Komunikasi KBRI Portugal Tresno Budiarto kepada JPNN.
Saran itu JPNN turuti untuk menebus rasa penasaran terhadap Kota Porto. JPNN pun pergi Senhora da Hora, Trindade, dan Campanha, tiga kawasan yang banyak ditinggali imigran muslim dari Mozambik, negara Afrika Selatan yang dijajah Portugis (Portugal) pada 1800-an.
Kala itu banyak budak dari Mozambik yang diboyong ke Portugal. Mereka lalu beranak pinak hingga sekarang.
‘’Mungkin yang ada di Porto sekarang keturunan kesekian. Tapi, komunitas Islam terbesar di Portugal ada di Lisbon,’’ lanjutnya.
Keesokan harinya, setelah sahur dan Salat Subuh, JPNN pergi naik komuter ke pusat Kota Porto.
Tapi, komuter baru beroperasi mulai pukul 06.00. JPNN pun berjalan kaki menuju Stasiun Mercado di seberang dermaga.
Sebelum sampai stasiun, harus menyeberangi Jembatan Ponte Movel yang melintang di atas kanal Sungai Leca da Palmeira.
Kebetulan, saat hendak lewat, ada kapal kargo dek tinggi yang akan masuk kanal sehingga jembatan harus ditutup 15 menit.
Tidak lama setelah saya membeli tiket perdana dan mengisi ulang sesuai zona jurusan melalui mesin penjual tiket di pinggir selter stasiun, kereta tiba. Interval kedatangan komuter setiap tujuan antara 5-10 menit.
Dari Mercado menuju Campanha melewati belasan stasiun sebelum sampai di Senhora da Hora dan Trindade.
Di setiap stasiun saya sempat turun. Tapi, tidak banyak warga yang mengetahui tempat tinggal komunitas muslim Mozambik.
‘’No entiando (Saya tidak mengerti),’’ ujar beberapa warga dalam bahasa Portugis.
Penelusuran berikutnya adalah menuju kantor informasi pariwisata untuk menanyakan keberadaan masjid. Sayang, petugas di kantor itu juga tidak mengetahui keberadaan masjid. ‘’Sorry, maybe in Lisbon (Maaf, mungkin di Lisbon),’’ katanya singkat.
Karena belum ada titik terang, menjelang petang dari Trindade JPNN berbelok ke Sao Bento, sudut lain Kota Porto.
Begitu sampai di hall Stasiun Sao Bento, saya melihat mural menghiasi dinding stasiun.
Gambar di tembok itu melukiskan peperangan antara bangsa Portugis yang dipimpin Pangeran D Henry dan bangsa muslim Moorish, Afrika Utara, di dekat Sungai Douro.
Sungai yang membelah kota itu menjadi lanskap Porto. Di atas sungai itu berdiri Jembatan Luis I yang menjadi ikon Kota Porto.
Jembatan tersebut didesain Gustave Eiffel, yang juga desainer Menara Eiffel di Paris.
Tak disangka, saat berada di Stasiun Sao Bento, saya bertemu dengan Atase Pertahanan RI di Den Haag Kolonel Laut (T) Wisnu Sumarto bersama istri dan seorang dosen ITS bernama Eko Yuli Handoko.
Dosen teknik geodesi itu sedang menempuh beasiswa S-3 di Unversidade Do Porto.
Maka, kesempatan itu saya manfaatkan untuk menanyakan lokasi yang saya cari. Bersyukurlah, Eko mengetahui seluk-beluk Kota Porto, termasuk keberadaan komunitas muslimnya.
‘’Mencari masjid dan komunitas muslim di Porto memang sulit. Tapi, di sekitar sini ada. Mari saya antar,’’ ujar dosen yang baru menginjakkan kaki di Porto Januari silam itu.
Ternyata, masjid yang dimaksud Eko adalah sebuah bangunan rumah biasa di Travessa do Loureiro. “Yang punya imigran asal Bangladesh,’’ terang Eko.
Sayang, sesampai di lokasi, rumah yang difungsikan sebagai masjid itu terkunci rapat. Tidak ada tanda-tanda aktivitas di dalamnya. Menurut informasi, rumah tersebut baru dibuka bila jamaahnya banyak.
‘’Kalau salat Jumat penuh jamaahnya. Mungkin Magrib nanti (pukul 21.00) ramai. Tapi, sekarang masih lama. Jadi, rumah atau masjid ini masih ditutup,’’ terang Eko.(ari/ila/bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar