Kerja Keras Taklukkan Ombak Setinggi 10 Meter
Etepe kedua dari Jayapura menuju Kwajalein, Kepulauan Marshal, Amerika Serikat (AS), benar-benar menjadi medan berat bagi KRI Dewaruci. Kapal legendaris berusia 60 tahun itu harus bertarung melawan ombak ganas dan cuaca ekstrem.
Hambatan cuaca membuat laju KRI Dewaruci tidak sesuai rencana. Menurut rencana, kapal latih TNI-AL itu tiba di Kwajalein, Kepulauan Marshal, Amerika Serikat (AS), Rabu (8/2). Estimasi itu didasarkan perjalanan sebelas hari nonstop dari Jayapura, Papua, sejak 28 Januari lalu.
Hingga tadi malam kapal masih berjalan lirih mendekati gugusan kepulauan yang menjadi pangkalan militer Amerika Serikat itu. Berdasar laporan staf Dinas Penerangan Mabes TNI-AL Kapten Laut (KH) Sapto Budiarso, cuaca ekstrem Samudera Pasifik sejak akhir pekan menyebabkan Dewaruci tidak bisa mencapai kecepatan rata-rata 7 knot. Kecepatan setara 15 kilometer per jam itu bisa dicapai jika cuaca bersahabat.
Apalagi, jalur kapal menuju timur laut itu kontradiktif dengan arah angin yang berasal dari barat laut. Angin yang menerpa lambung kapal mengakibatkan kecepatan Dewaruci mundur dari 6 knot menjadi 5 knot. “Air laut sering memenuhi geladak utama karena ombak bergulung hingga 6 sampai 10 meter,” tutur Sapto.
Jika sesekali arah angin berbalik mendorong Dewaruci, komandan kapal Letkol Laut (P) Haris Bima Bayuseto tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia memerintahkan anak buah kapal melaksanakan peran layar. Dua layar penopang bawah dan penopang atas pada tiang Bima (tiang depan) dibuka.
Kombinasi mesin dan angin membuat kecepatan kapal meningkat 7 knot. Kemudian, tidak sampai tiga jam, angin berbalik arah. Kru kapal yang bersusah payah mengembangkan layar secara manual kembali harus menggulung layar. “Goyangan kapal semakin keras karena hujan deras saat layar belum tertutup sempurna,” cerita Sapto
Kondisi pelayaran tidak bersahabat Samudera Pasifik diakui Komandan Satban Koarmatim Kolonel Laut (P) Herman Prasetyo. “Ketika masih kadet tingkat III/1986, menuju Kwajalein sangat ekstrem. Wajar kalau terlambat,” ungkap Herman.
Untuk mengantisipasi dampak keganasan Samudera Pasifik menuju Kwajalein pada 26 tahun silam, pelayaran dari Bitung kala itu tidak langsung ke Kwajalein. Mereka transit ke Guam dulu.
Kru Dewaruci butuh nyali tinggi, mengingat itu pelayaran perdana via Kwajalein. Setelah mengisi perbekalan kapal dan logistik untuk kebutuhan dua minggu berlayar, Dewaruci melanjutkan perjalanan ke gugusan kepulauan di laut lepas tersebut.
Selanjutnya, kapal melaju ke Pearl Harbor, San Diego, Acapulco (Meksiko), melintasi Panama hingga Baltimore, dan New York pergi pulang (PP). Molornya duga waktu datang (DWD) dalam pelayaran Dewaruci diupayakan tidak merembet bagaikan efek domino seperti dalam maskapai penerbangan.
Selain memangkas jumlah rata-rata sandar, komandan kapal dapat memperhitungkan waktu dengan menambah kecepatan kapal. Selama tiga hari sandar, Dewaruci pada dua hari di antaranya menggelar open ship untuk masyarakat umum. (***)
[ Red/Redaksi_ILS ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar