Perbedaan
waktu Indonesia dengan Boston, Amerika Serikat, mencapai sebelas jam.
Selisih waktu yang hampir separo hari itu membuat saya harus segera
beradaptasi. Sebab, Dewaruci akan melanjutkan pelayaran menuju
Kanada, tidak sampai tiga hari penuh setelah saya tiba (3/7). Saya
bertolak dari Bandara Narita, Tokyo, pada pukul 11.30. Kemudian mendarat
di Bandara Logan, Boston, pada jam yang hampir sama waktu setempat.
Menempuh penerbangan
setengah hari nonstop membuat tubuh saya jadi penat. Dinginnya
temperatur ruang dalam pesawat berkisar 21 derajat membuat badan
menggigil. Kondisi itu tidak biasa karena temperatur udara di
Surabaya mencapai 25-33 derajat Celsius. Selimut rangkap dua yang
disediakan pramugari belum membuat saya nyaman. Mata menjadi sulit
dipejamkan. Selama itu pula saya terjaga.
Tidak terasa pesawat yang terbang
melambung agak ke utara Lautan Pasifik sudah melintasi sebagian kawasan
Kanada bagian tenggara dan hendak mendarat di Logan International
Airport, Boston.
Bandara Logan begitu luas dengan empat
landasan pacu. Begitu mendarat, saya langsung menuju loket imigrasi
dan bea cukai. Di sinilah saya sempat waswas karena ketatnya
pemeriksaan keimigrasian. Bahkan, saya hampir tidak lolos masuk AS
kalau saja si petugas tidak mengenali KRI Dewaruci yang saya pakai
sebagai “kata kunci” (baca laporan edisi pertama kemarin, Red).
Nah, setelah semua beres dan
diperbolehkan memasuki negeri Paman Sam, saya meneruskan perjalanan
ke tempat tujuan: Pelabuhan Boston. Di situlah KRI Dewaruci sandar
beberapa hari dalam rangkaian pelayaran keliling dunianya yang
dimulai dari Surabaya Januari silam.
Banyak pilihan transportasi lanjutan
dari bandara yang lokasi pulaunya terpisah, namun tidak jauh dari pusat
Kota Boston. Saya pilih naik taksi agar dapat masuk ke akses terdekat
Dewaruci bersandar. Taksi meluncur meliuk-liuk di jalanan Boston yang
lebar, mulus, dan tidak padat kendaraan.
Begitu taksi memasuki Boston South
Fish Pier (Pelabuhan Boston), terlihat ribuan masyarakat dari
berbagai etnis dunia memadati jalur pedestrian fasilitas umum
pelabuhan. Ratusan di antaranya membentuk antrean panjang. Mereka akan
mengunjungi kapal layar tiang tinggi dari berbagai negara yang sandar
di pelabuhan. Selain Dewaruci, kapal lain yang sandar adalah kapal Cisne
Branco milik Angkatan Laut Brasil, Buque Escuela Guayas (Ekuador),
dan Gloria (Kolombia).
KRI Dewaruci menempati posisi di dermaga
paling belakang. Dari balik gedung Boston Fish Market Corporation
hanya terlihat bendera Merah Putih yang berkibar di buritan. Untuk
menuju kapal kebanggaan Indonesia itu, pengunjung melewati jalan
akses dekat lambung kiri tiga kapal layar negara lain. Baru setelah itu,
mereka bisa melihat dari dekat kapal buatan Jerman pada 1952 tersebut.
Kapal Dewaruci memiliki dimensi panjang
58,3 meter dan lebar 9,5 meter. Jika dibandingkan dengan tiga kapal AL
di sampingnya, Dewaruci terlihat paling “kecil”. Panjang kapal latih
negara lain itu hampir 80 meter dengan lebar lebih dari 10 meter. Selain
lebih kecil, Dewaruci yang pertama diluncurkan pada 15 Januari 1953
itu menjadi kapal paling tua. Kapal dengan lambung dominan berwarna
putih dengan tiang-tiangnya yang dicat kuning itu sekarang menapaki
umur 60 tahun.
Bandingkan dengan Kapal Guayas milik AL
Ekuador yang dibuat pada 1977 (35 tahun), Gloria pada 1968 (44), dan
Cisne Branco pada 1999 (13). ”Dewaruci sandar di belakang karena
datang paling akhir. Meski begitu, pengunjung Dewaruci terhitung paling
banyak,” puji Executif Director Boston Harborfest Susan Park.
Berdasar penghitungan yang dilakukan
panitia dengan hand counter (semacam alat hitung manual empat digit),
jumlah pengunjung Dewaruci setiap hari rata-rata 9.000 orang. Penuhnya
pengunjung di atas geladak kapal maupun yang sedang antre bukan karena
ukuran Dewaruci yang lebih kecil. Tapi memang karena banyaknya
pengunjung.
Banyak daya tarik yang ditampilkan
kapal yang dikomandani Letkol Laut (P) Haris Bima Bayuseto itu. Patung
Wrekudara atau Bima, tokoh wiracarita Mahabharata Bhimasena yang
bersemayam di bawah cocor, dan ukiran etnis melingkari bawah tiga tiang
utama kapal.
Di tiang pertama yang dinamakan tiang
Bima ada ukiran khas Suku Dayak, Kalimantan Timur. Tiang kedua
bernama Yudhistira dengan ukiran Jepara, Jateng. Tiang ketiga
(belakang) yang diberi nama tiang Arjuna berukir Suku Asmat, Papua.
Ukiran kayu khas Jepara yang mengelilingi anjungan membuat area nakhoda
terlihat beda dari kapal layar pada umumnya. Sepasang kemudi utama di
depan anjungan terlihat menambah cantik kapal. Sementara itu, kayu
jati yang membentang di geladak atas, pijakan anjungan dan haluan, serta
bagian atas railing pagar membuat Dewaruci tampak gagah sekaligus
anggun sebagai sebuah kapal layar. (bersambung/c1/ari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar