Ekspedisi KRI Dewaruci keliling dunia telah menempuh separuh perjalanan. Wartawan JPNN
Suryo Eko Prasetyo yang Januari-Februari lalu mengikuti pelayaran dari
Surabaya ke Jayapura, kini kembali bergabung di atas kapal legendaris
tersebut. Dia akan merasakan “nikmatnya” berpuasa selama Ramadhan 1433 H
di tengah laut dalam perjalanan dari Kanada hingga Mesir.
SINAR matahari siang
itu (3/7) tidak begitu terik. Cuaca di langit Kota Boston, Amerika
Serikat (AS), terlihat berawan. Kondisi cuaca tersebut saya ketahui
dari jendela kabin pesawat Japan Airlines (JAL) yang membawa saya dalam
perjalanan panjang dari Bandara Soekarno Hatta, transit di Narita
(Jepang), hingga Boston. Jaraknya mencapai 16.867 km.
Sebelum mendarat sekitar pukul 13.30
waktu setempat, pesawat sempat melewati pelabuhan Boston. Dari balik
jendela pesawat, terlihat empat kapal layar tiang tinggi bersandar di
dermaga tersebut. Salah satunya KRI (Kapal Perang Republik Indonesia)
Dewaruci. Hal itu terlihat dari bendera Merah Putih yang berkibar di
buritan kapal. Sedangkan tiga kapal layar lain yang sandar memanjang
berbendera Brasil (Cisne Branco), Ekuador (Guayas), dan Kolombia
(Gloria).
Setelah menempuh penerbangan selama 24
jam plus transit hampir 10 jam dari Surabaya, pesawat jenis Boeing 7878
yang saya naiki mendarat mulus di landasan pacu Bandara
Internasional Logan, Boston. Saya datang di kota klub basket NBA
Boston Celtics itu untuk bergabung untuk kali kedua bersama
Dewaruci.
Kapal latih TNI-AL itu bersandar di
Boston Fish Pier setelah berpartisipasi dalam lomba layar Operation
Sail (OpSail) 2012. Lomba tersebut dihelat untuk memperingati dua abad
perang AS versus Britania Raya. Lomba sudah dilangsungkan mulai
April hingga Juni lalu di beberapa negara bagian, antara lain New
Orleans, Miami, Savannah, New York, Norfolk, dan Baltimore. OpSail itu
sekaligus memuncaki perayaan hari kemerdekaan AS pada 4 Juli lalu.
Kehadiran Dewaruci dalam iven itu
dibarengkan dengan program muhibah internasional keliling dunia dan
pelayaran Kartika Jala Krida sebagai praktik para kadet Akademi AL
(AAL). Selain AS, negara yang disinggahi Dewaruci adalah Kanada,
Portugal, Spanyol, Malta, Mesir, Arab Saudi, Oman, dan Sri Lanka.
Setelah itu, Dewaruci balik ke Indonesia pada Oktober nanti.
Dua negara yang sudah saya lewatkan
dalam ekspedisi tersebut adalah Meksiko dan Panama. Saya bergabung
lagi di Dewaruci setelah kapal itu merapat di Boston selama tiga hari.
Saya menjadi satu-satunya pemegang paspor hijau sebagaimana warga sipil
biasa. Sedangkan para awak kapal Dewaruci yang berjumlah 78 orang
merupakan pemegang paspor dinas (paspor biru).
Saya bersyukur bisa lolos dari
pemeriksaan petugas imigrasi di bandara. Petugas sempat
menginterogasi mengapa saya baru masuk AS menjelang hari istimewa
mereka, independence day (hari kemerdekaan). Padahal, visa
saya sudah diterbitkan Konjen AS di Surabaya pada Februari 2012 atau
lima bulan lalu. Si petugas juga mempersoalkan banyaknya visa yang
belum saya gunakan.
”Anda masuk kategori alien,” ucap petugas imigrasi bagian kedatangan internasional di jalur warga luar AS.
Di kalangan imigrasi, cap atau status alien dijatuhkan kepada penumpang terlarang (suspicious passenger).
Saya berusaha meyakinkan baru bisa terbang ke AS karena paspor
dibutuhkan untuk proses permohonan visa ke beberapa negara yang
akan saya singgahi bersama Dewaruci.
Kebetulan, kapal kebanggaan Indonesia
itu sedang sandar di pelabuhan yang tidak jauh dari lokasi bandara.
Fakta itu saya ketahui setelah mengintip dari balik jendela pesawat
menjelang mendarat sekitar 30 menit sebelum pemeriksaan imigrasi.
Begitu saya menyebut kata Dewaruci, petugas itu mulai ngeh.
“Dewaruci Indonesian navy ship. Spectacular ship,” ujar petugas berbadan subur tersebut.
Tak lama kemudian, formulir catatan kedatangan dan paspor saya distempel. “Welcome to US,” lanjut petugas tersebut sembari tersenyum.
Ibu kota Negara Bagian Massachusetts itu
sekaligus menjadi tempat saya start untuk meneruskan ekspedisi
panjang Dewaruci sampai ke tanah air selama sekitar tiga bulan. Saya
bersama para awak kapal Dewaruci tengah menapaktilasi pelayaran
keliling dunia pertama Dewaruci pada 1964.
Kala itu kapal produksi Jerman pada
1952 tersebut mengelilingi bumi selama 210 hari atau mendekati
delapan bulan. Rutenya, berlayar ke arah barat, mengikuti
pergerakan matahari. Mulai Dermaga Ujung (Surabaya), Jakarta,
Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, Kolombo, Sri Lanka (Asia); Djibouti,
Port Said, Mesir (Afrika); Split, Yugoslavia (Eropa); Casablanca,
Maroko (Afrika); hingga perairan Amerika, antara lain St George, New
York, New Jersey, Annapolis, Norfolk, dan Rodman. Perjalanan berlanjut
ke Acapulco (Meksiko), terus ke negara bagian AS lagi di San Diego,
Hawaii, Midway, lalu kembali ke Indonesia via Jayapura.
Sedangkan ekspedisi Dewaruci kali ini menempuh rute ke timur. Ekspedisi itu diperkirakan memakan waktu 9 bulan 2 hari.
Banyak tantangan yang akan dihadapi pada
penjelajahan kali ini. Antara lain, perjalanan di atas laut pada
Ramadhan 1433 H. Juga, sahur dan berbuka puasa di atas Dewaruci yang
sedang membelah Samudera Atlantik hingga sandar ke tiga negara di
Eropa, yakni Portugal, Spanyol, dan Malta.
Kemudian, menyisiri Selat Gibraltar di
antara Spanyol dan Maroko serta Laut Tengah. Di kalangan pelaut,
wilayah perairan itu kurang bersahabat. Gelombang tinggi dan angin
kencang sering menerpa kapal yang usianya sudah lebih dari setengah
abad tersebut.
Hari Raya Idul Fitri 1433 H diprediksi
bertepatan dengan saat Dewaruci sandar di Mesir. Tantangan lain adalah
saat kapal melintasi Teluk Aden di Djibouti yang terkenal dengan para
perompak Somalia yang sering mengganggu kapal-kapal asing yang lewat.
Kapal berbendera Indonesia MV Sinar Kudus pernah menjadi korban
perompak di wilayah itu pada medio Maret 2011. Para awaknya bahkan
disandera. Jika tidak dibebaskan jajaran TNI-AL, mungkin nakhoda
dan ABK pulang hanya tinggal nama.
Lepas dari Djibouti, pelayaran Dewaruci kembali ke Indonesia disambut Samudera Hindia yang tak kalah ganas.
Sebagai manusia yang biasa hidup di
darat, tidak gampang menjalani kehidupan di atas laut. Apalagi,
berdurasi sampai berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan hingga
berbulan-bulan. Perasaan kangen terhadap anak, istri dan tanah air bisa
langsung menyergap begitu berada di belahan lain bumi Indonesia. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar