Minggu, 22 Juli 2012

Beramadhan di Kapal Dewaruci yang Keliling Dunia, Rute AS-Porto (1) Dikategorikan Alien, tapi Tetap Lolos Imigrasi


Padang Ekspres • Sabtu, 21/07/2012 12:47 WIB • SURYO EKO PRASETYO 
Suryo Eko Prasetyo saat tiba di bandara Boston
Ekspedisi KRI Dewaruci keliling dunia telah menempuh separuh perjalanan. Wartawan JPNN Suryo Eko Prasetyo yang Januari-Februari lalu mengikuti pelayaran dari Surabaya ke Jayapura, kini kembali bergabung di atas kapal legendaris tersebut. Dia akan merasakan “nikmatnya” berpuasa selama Ramadhan 1433 H di tengah laut dalam perjalanan dari Kanada hingga Mesir.

SINAR matahari siang itu (3/7) ti­dak begitu terik. Cua­ca di langit Kota Bos­ton, Ame­rika Serikat (AS), terlihat ber­awan. Kondisi cuaca tersebut saya ke­tahui dari jendela kabin pesawat Ja­pan Airlines (JAL) yang membawa saya dalam perjalanan panjang dari Bandara Soekarno Hatta, transit di Na­rita (Jepang), hingga Boston. Jarak­nya mencapai 16.867 km. 

Sebelum mendarat sekitar pukul 13.30 waktu setempat, pesawat sempat melewati pelabuhan Boston. Dari balik jendela pesawat, terlihat empat kapal layar tiang tinggi bersandar di dermaga tersebut. Salah satunya KRI (Kapal Perang Republik Indonesia) Dewaruci. Hal itu terlihat dari bendera Merah Putih yang berkibar di buritan kapal. Sedangkan tiga kapal layar lain yang sandar memanjang berbendera Brasil (Cisne Branco), Ekuador (Gua­yas), dan Kolombia (Gloria).

Setelah menempuh pener­bangan selama 24 jam plus transit hampir 10 jam dari Surabaya, pe­sawat jenis Boeing 7878 yang sa­ya naiki men­darat mulus di lan­dasan pacu Bandara Inter­nasional Logan, Boston. Saya da­tang di kota klub basket NBA Bos­ton Celtics itu untuk ber­ga­bung untuk kali kedua ber­sama Dewaruci.

Kapal latih TNI-AL itu ber­san­dar di Boston Fish Pier sete­lah berpartisipasi dalam lomba la­yar Operation Sail (OpSail) 2012. Lomba ter­sebut dihelat untuk memperingati dua abad pe­rang AS versus Britania Raya. Lom­­ba sudah dilangsungkan mu­l­ai April hingga Juni lalu di be­berapa negara bagian, antara lain New Orleans, Miami, Savannah, New York, Norfolk, dan Bal­timore. OpSail itu sekaligus me­muncaki perayaan hari ke­mer­dekaan AS pada 4 Juli lalu.

Kehadiran Dewaruci dalam iven itu dibarengkan dengan pro­­gram muhibah inter­nasional ke­­liling dunia dan pelayaran Kar­t­ika Jala Krida sebagai prak­tik para kadet Akademi AL (AAL). Selain AS, negara yang di­sing­gahi Dewaruci adalah Ka­na­da, Portugal, Spanyol, Mal­ta, Me­sir, Arab Saudi, Oman, dan Sri Lanka. Setelah itu, Dewa­ruci ba­lik ke Indonesia pada Oktober nanti.

Dua negara yang sudah saya le­watkan dalam ekspedisi terse­but adalah Meksiko dan Pana­ma. Saya bergabung lagi di De­waruci setelah kapal itu mer­apat di Boston selama tiga hari. Saya menjadi satu-satunya pemegang paspor hijau sebagaimana warga sipil biasa. Sedangkan para awak kapal Dewaruci yang berjumlah 78 orang merupakan pemegang paspor dinas (paspor biru).

Saya bersyukur bisa lolos dari pemeriksaan petugas imi­grasi di bandara. Petugas sem­p­at menginterogasi me­ngapa saya ba­ru masuk AS men­jelang hari is­timewa mere­ka, independence day (hari kemerdekaan). Pa­da­hal, visa saya sudah diter­bitkan Kon­jen AS di Surabaya pada Februari 2012 atau lima bulan lalu. Si petugas juga mem­per­soal­kan banyaknya visa yang be­lum saya gunakan.

”Anda masuk kategori alien,” ucap petugas imigrasi bagian ke­datangan internasional di jalur war­ga luar AS.

Di kalangan imigrasi, cap atau status alien dijatuhkan ke­pada penumpang terlarang (sus­p­i­cious passenger). Saya be­ru­saha meyakinkan baru bisa ter­bang ke AS karena paspor di­bu­tuhkan untuk proses per­mo­ho­nan visa ke beberapa negara yang akan saya sing­gahi ber­sama Dewaruci.

Kebetulan, kapal ke­bang­gaan Indonesia itu sedang san­dar di pelabuhan yang tidak jauh dari lokasi bandara. Fakta itu sa­ya ketahui setelah mengintip da­ri balik jendela pesawat men­je­lang mendarat sekitar 30 me­nit sebelum pemeriksaan imi­grasi. Be­gitu saya menyebut ka­ta De­waruci, petugas itu mulai ngeh.

“Dewaruci Indonesian navy ship. Spectacular ship,” ujar petugas berbadan subur terse­but.

Tak lama kemudian, for­mu­lir catatan kedatangan dan pas­por saya distempel. “Welcome to US,” lanjut petugas ter­sebut sembari tersenyum.

Ibu kota Negara Bagian Massachusetts itu sekaligus menjadi tem­pat saya start untuk mene­ruskan ekspedisi panjang Dewa­ruci sampai ke tanah air selama se­kitar tiga bulan. Saya bersama pa­ra awak kapal Dewaruci te­ngah menapaktilasi pelayaran keliling dunia pertama Dewaruci pada 1964.

Kala itu kapal produksi Jer­man pada 1952 tersebut me­nge­li­lingi bumi selama 210 ha­ri atau men­dekati delapan bu­lan. Ru­te­nya, berlayar ke arah barat, me­ngi­kuti perge­rakan matahari. Mu­lai Dermaga Ujung (Su­ra­baya), Jakarta, Sabang, Nang­groe Aceh Darussalam, Kolom­bo, Sri Lanka (Asia); Djibouti, Port Said, Mesir (Afrika); Split, Yu­­goslavia (Eropa); Ca­sablanca, Ma­roko (Af­rika); hingga per­airan Amerika, antara lain St George, New York, New Jersey, An­napolis, Norfolk, dan Rodman. Perjalanan berlanjut ke Aca­pulco (Meksiko), terus ke ne­gara bagian AS lagi di San Die­go, Hawaii, Midway, lalu kem­bali ke Indonesia via Jayapura.

Sedangkan ekspedisi De­waruci kali ini menempuh rute ke timur. Ekspedisi itu di­per­kira­kan memakan waktu 9 bulan 2 hari.

Banyak tantangan yang akan dihadapi pada penjelajahan kali ini. Antara lain, perjalanan di atas laut pada Ramadhan 1433 H. Juga, sahur dan berbuka pua­sa di atas Dewaruci yang se­dang membelah Samudera Atlantik hingga sandar ke tiga negara di Eropa, yakni Portugal, Spanyol, dan Malta.

Kemudian, menyisiri Selat Gi­braltar di antara Spanyol dan Ma­­roko serta Laut Tengah. Di ka­langan pelaut, wilayah per­airan itu kurang bersahabat. Ge­lom­bang ting­gi dan angin ken­cang sering menerpa kapal yang usia­nya sudah lebih dari set­e­ngah abad tersebut.

Hari Raya Idul Fitri 1433 H di­prediksi bertepatan dengan saat Dewaruci sandar di Mesir. Tan­tangan lain adalah saat kapal me­lintasi Teluk Aden di Djibouti yang terkenal dengan para pe­rom­­pak Somalia yang sering mengganggu kapal-kapal asing yang lewat. Kapal berbendera In­donesia MV Sinar Kudus per­nah menjadi korban perom­pak di wilayah itu pada medio Maret 2011. Para awaknya bahkan di­sandera. Jika tidak dibebaskan ja­­jaran TNI-AL, mungkin nak­ho­da dan ABK pulang hanya ting­gal nama.

Lepas dari Djibouti, pela­yaran Dewaruci kembali ke Indo­nesia disambut Samudera Hin­dia yang tak kalah ganas.

Sebagai manusia yang biasa hidup di darat, tidak gampang men­jalani kehidupan di atas laut. Apa­lagi, berdurasi sampai ber­hari-hari, berminggu-minggu, bahkan hingga berbulan-bulan. Perasaan kangen terhadap anak, istri dan tanah air bisa langsung menyergap begitu berada di belahan lain bumi Indonesia. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar