Kamis, 02 Agustus 2012

Tak Kantongi SC, Nyaris tidak Bisa Ikut Berlayar Ikuti Ekspedisi KRI Dewaruci Keliling Dunia pada Bulan Ramadhan, Rute Kanada–Porto (1)


Setelah menempuh pelayaran panjang, dari Boston ke Kanada, dilanjutkan ke Portugal, akhirnya KRI Dewaruci merapat di Pelabuhan Porto, 26 Juli lalu. Wartawan JPNN SURYO EKO PRASETYO yang mengikuti ekspedisi Dewaruci keliling dunia itu pun melaporkan kembali perjalanan selama 17 hari di tengah Laut Atlantik tersebut.

BERLAYAR di atas kapal yang lingkungannya terbatas bisa mengakibatkan stres. Apa­lagi dalam waktu berbu­lan-bulan seperti di ekspedisi KRI Dewaruci ini. Dimensi panjang dan lebar geladak KRI Dewaruci yang tidak lebih dari 49,6 meter x 9,5 meter terke­san sempit dan yang terlihat itu-itu saja.

Tidak bisa dimungkiri bah­wa rasa kangen terhadap ke­luarga di tanah air sering mun­cul. Bila tidak bisa melawan stres, bisa-bisa sumbu emosi gampang tersulut. Potensi gesekan antarawak kapal pun menjadi terbuka.

Saya yang pernah ikut pela­yaran Dewaruci rute Suraba­ya–Jayapura berusaha me­nyelami situasi psikologis para ABK (anak buah kapal). Ja­ngan sampai kehadiran saya ibarat bensin yang dapat me­nyulut bara menjadi api. Kare­na itu, seluruh prosedur saya penuhi sejak sebelum ber­ang­kat. Di antaranya, dokumen per­jalanan seperti paspor dan visa, tiket pesawat, buku ku­ning berisi sertifikat vaksinasi internasional yang lazim berla­ku di kalangan pelaut, surat tugas dari kantor, dan security clearance (SC) dari TNI-AL.

Persyaratan administrasi tersebut saya urus sejak pulang dari Jayapura, Februari 2012. Kebetulan, paspor sudah saya perpanjang sebelum menda­pat penugasan ke luar negeri, Desember 2011. Di antara rencana 11 negara yang akan disinggahi Dewaruci, saya hanya membutuhkan tujuh visa. Yakni, visa AS, Kanada, Por­tugal (juga berlaku visa Sc­hengen di Spanyol dan Mal­ta), Mesir, Arab Saudi, Oman, dan Sri Lanka.

Buku kuning saya urus di Kantor Kesehatan Pelabuhan Tan­jung Perak dan Bandara Juanda. Tanda tangan dr Ga­ng­­ga Adam Erlangga dan dr Wahju Tj. membuktikan saya per­nah divaksin meningitis, typhoid, dan yellow fever.

Vaksin itu, menurut per­wira kesehatan di Dewaruci dr Bangun Pramujo, merupakan langkah preventif terhadap pe­nyakit maupun prosedur izin masuk ke suatu negara terten­tu. ”Pelabuhan-pelabuhan di AS sangat ketat terhadap war­ga asing yang belum disuntik yellow fever. Negara-negara Afrika dan Timur Tengah bia­sanya sangat perhatian ter­hadap antisipasi meningitis,” terang Bangun.

Saya yakin syarat-syarat lain sudah saya penuhi dari Komando Armada RI Kawasan Timur (Armatim) sebelum mengikuti pelayaran ke Jaya­pura.

Celakanya, SC untuk pela­ya­ran ke luar negeri ter­nyata ti­dak cukup dari Intelijen Ar­matim. Harus ada SC dari Intelijen Mabes TNI-AL.

Namun, saat saya sudah menginjakkan kaki di Boston, AS, masalah prosedur muncul. Yakni, soal SC dari Mabes TNI-AL yang memang belum saya kantongi. Pasalnya, SC itu diperlukan saat saya mengikuti pelayaran di sejumlah negara sebagai prasyarat perizinan. Izin tersebut mestinya diurus sebelum berlayar ke luar ne­geri.

Agenda waktu, dalam rang­ka apa, kegiatan di negara tujuan, siapa saja kru atau personel yang terlibat, dan kapan meninggalkan negara tersebut harus jelas di awal. Prosedur standar itu ditin­dak­lanjuti dengan instansi teknis di negara tersebut.

”Jadi, selama belum ada SC dari Aspam (Asisten Penga­manan KSAL, red), saya tidak menjamin Mas Suryo bisa ikut ke Kanada,” ucap Komandan KRI Dewaruci Letkol Laut (P) Haris Bima Bayuseto dua hari sebelum Dewaruci mening­galkan Boston.

Mendengar pernyataan Bima tersebut, seluruh per­sendian tubuh saya rasanya tak bertulang lagi. Tidak sampai tiga hari lagi Dewaruci akan berlayar ke Kanada. Tidak mungkin saya harus mengurus lagi di tanah air. Karena itu, saya memohon ada dekresi kebijakan dari komandan De­waruci.

Selain itu, saya langsung menelepon Kadispen Armatim Letkol Laut (KH) Yayan Su­giana. Kebetulan yang ber­sangkutan sedang di Mabes TNI-AL. ”SC langsung ditanga­ni Letkol Laut (KH) Abdul Kadir (kepala Seksi Peliputan dan Pemberitaan Sub Dinas Penerangan Umum Dispenal, red),” kata Yayan.

Saya mencoba menghu­bungi perwira menengah yang baru promosi pada April 2012 itu. Suara di ujung telepon tidak jelas dan cenderung putus-putus. Kemudian, saya ketik pesan singkat kepadanya. Balasannya cukup melegakan hati meski belum ada kepas­tian: ”SC masih di Spamal (staf pengamanan KSAL). Kami mencoba menelusuri SC yang lama di Armatim sambil pro­ses SC yang baru.

Surat kami konsep ko­man­dan kapal agar dapat diterima. Titik terang akhirnya datang dari Atase Laut Republik Indonesia di Washington DC Ko­lonel Laut (KH) Anwar Saadi. Pamen tiga melati yang me­ngawal diplomasi pelayaran Dewaruci 2012 di AS—mulai Kwajalein hingga Kepulauan Marshall—medio Februari tersebut menguatkan saya. Selama di Benua Amerika (termasuk Kanada, Amerika Utara), itu masih wilayah ”ke­kuasaan” dia. ”Yang penting punya visa Kanada tidak ma­salah,” ujar Anwar me­ya­kin­kan saya. (ber­sambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar